Jepang merupakan salah satu negara
termaju dalam berbagai bidang kehidupan: ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan,
sosial, politik, dll. Kemajuan-kemajuan ini tentu berkaitan erat dengan
kemajuan pendidikan.
Bagaimana sistem pendidikan di Jepang?
Sistem pendidikan di Jepang
dibangun atas prinsip-prinsip:
- Legalisme
- Administrasi yang demokratis
- Netralitas
- Penyesuaian dan penetapan kondisi pendidikan
- Desentralisasi.
Pendidikan
bertujuan:
- Mengembangkan kepribadian secara penuh dengan
- Berupaya keras membangun manusia yang sehat pikiran dan badan,
- Yang mencintai kebenaran dan keadilan,
- Menghormati perseorangan,
- Menghargai kerja,
- Mempunyai rasa tanggungjawab yang dalam, dan
- Memiliki semangat independen sebagai pembangun negara dan masyarakat yang damai.
Sistem administrasi
pendidikan dibangun dalam empat tingkat: pusat, prefectural (antara
propinsi dan kabupaten), municipal (antara kabupaten dan kecamatan), dan
sekolah. Masing-masing tingkat administrasi pendidikan tersebut mempunyai
peran dan kewenangan yang saling mengisi dan bersifat kerjasama. Disamping itu,
terdapat asosiasi-asosiasi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua yang
mendukung pengembangan sekolah.
Contoh tujuan pendidikan untuk
tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) yang dirinci sampai tingkat
kelas dapat dilihat dalam Gambar 1.
Tujuan pendidikan tersebut adalah
untuk membesarkan anak yang sehat pikiran dan badan serta penuh estetika,
sehingga dihasilkan murid yang ideal, yaitu murid yang selalu melatih
diri sendiri, mengikuti aturan, bersedia bekerja secara sukarela, dan mempunyai
dasar untuk berpikir secara internasional.
Selanjutnya, tujuan pendidikan di
tingkat sekolah tersebut dijabarkan lagi ke dalam tujuan di masing-masing kelas
seperti yang dapat dilihat dalam Gambar 1. (Kawanigashi Junior Secondary
School, 2000).
Tujuan pendidikan ini lebih lanjut
dijabarkan untuk setiap mata pelajaran dan bahkan untuk setiap pertemuan kelas.
Untuk mencapai tujuan tersebut diuraikan materi apa yang akan dibahas, apa yang
harus dilakukan murid, dan apa yang harus dilakukan guru, serta bagaimana cara
melakukannya yang semuanya dinyatakan dalam rencana kerja (working plan)
yang disiapkan guru untuk setiap pertemuan kelas. Dengan demikian, baik murid
maupun guru memiliki pedoman arahan yang jelas dalam proses belajar-mengajar.
Pada umumnya metode pengajaran yang digunakan di sekolah-sekolah di Jepang
adalah kombinasi dari:
- Penjelasan dari dan tanya jawab dengan guru,
- Diskusi antar murid, dan
- Eksplorasi oleh murid sendiri dengan menggunakan alat pembelajaran.
Di awal biasanya murid memberikan
penjelasan sebagai pengantar, kemudian murid melakukan diskusi sesama mereka
dan atau mengeksplorasi menggunakan alat pembelajaran seperti
multimedia, laboratorium, dll. sesuai dengan mata pelajaran dan kebutuhan.
Hasil diskusi dan atau eksplorasi tersebut lalu dipresentasikan di depan kelas
dengan bimbingan guru.
Namun sebetulnya dibalik kesuksesan itu, Jepang sendiri sempat mengalami kekurangpuasan dengan sistem pendidikan yang mereka miliki, khususnya antara tahun 1980an sampai sekitar tahun 1990an. Akibatnya, kementrian pendidikan berupaya melakukan serangkaian reformasi yang berpengaruh pada kebijakan-kebijakan pendidikan yang berkembang saat ini. Meski begitu, kebijakan-kebijakan atas reformasi itu sendiri masih sering menjadi bahan perdebatan di kalangan para stakeholder dan pemerhati pendidikan.
Menurut catatan Christopher Bjork dan Ryoko Tsuneyoshi, berbagai penelitian yang dipublikasi selama periode dua dekade dari abad ke 20 banyak mengetengahkan isu komparatif guna mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem pendidikan di Jepang dibanding dengan negara-negara yang lain. Hasilnya secara umum hanya menggarisbawahi aspek-aspek yang unggul dari sistem pendidikan tersebut, misalnya dasar yang kuat yang ditanam pada para siswa untuk bidang studi matematika dan ilmu pasti, komitmen masyarakat yang kuat pada keunggulan akademik, keselarasan hubungan antara pengajar dan peserta didik, serta budaya pengajaran yang sarat perencanaan dan implementasi yang matang.
Seiring dengan melimpahnya kekaguman berbagai bangsa luar, termasuk Indonesia atas sistem yang dikembangkan tersebut berbagai perdebatan seputar hakikat dan tujuan sistem itu beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya mewarnai dinamika pendidikan di negara ini.
Perdebatan ini banyak terjadi antara mereka yang tamat dari sekolah-sekolah dalam negeri dan mereka yang tamat dari luar negara. Selain itu, selama bertahun-tahun sistem pendidikan di negeri sakura ini dinilai terlalu kaku dalam mengaplikasikan ujian masuk bagi para calon siswa baru serta semata-mata menekankan kemampuan ingatan terhadap fakta-fakta yang ada.
Fenomena inilah yang kemudian menggugah kementrian pendidikan, budaya, olahraga, ilmu pengetahuan serta teknologi (MEXT) untuk memelopori “Yutori Kyoiku”, suatu reformasi pendidikan guna meredam intensitas tersebut.
Namun demikian, aplikasi pada reformasi ini bukannya membuat perdebatan reda, tetapi justru menyulut berbagai percikan kritikan baru. Di satu pihak, ada yang berupaya mengembalikan sistem pendidikan Jepang pada agenda awal dengan mengembalikan fungsi kurikulum secara penuh. Di lain pihak ada yang bersikukuh mendorong Jepang makin meningkatkan standar akademik, seiring dengan pengembangan program “Super Science” untuk siswa-siswi sekolah lanjutan atas, yang notebene untuk mereka dengan kemampuan di atas rata-rata.
Kecenderungan sosial akademik ini tidak bisa dibendung dan sejumlah sekolah lokal mengembangkan kebijakan orientasi pada pasar (market-oriented policies) seperti misalnya berlomba-lomba untuk menjadi sekolah pilihan.
Berbagai perdebatan yang muncul tersebut seakan-akan mempertanyakan sistem pendidikan yang sedang berkembang di Jepang saat itu, bahkan ada beberapa dari mereka berpendapat bahwa sistem pendidikan Jepang saat itu ada dalam suatu titik genting. Di tengah-tengah tantangan untuk mengurangi beban tekanan akademis bagi para siswa, pengembangan motivasi belajar, kemampuan berpikir kritis ada sejalan dengan upaya untuk membekali para siswa pada kemampuan-kemampuan akademik dasar.
Para pendidik pun disibukkan untuk menggali berbagai pendekatan yang sekiranya tidak hanya bisa menjawab pertanyaan para stakeholder tersebut, namun juga bisa tetap berada pada jalur kurikulum yang telah mereka sepakati.
Namun sebetulnya dibalik kesuksesan itu, Jepang sendiri sempat mengalami kekurangpuasan dengan sistem pendidikan yang mereka miliki, khususnya antara tahun 1980an sampai sekitar tahun 1990an. Akibatnya, kementrian pendidikan berupaya melakukan serangkaian reformasi yang berpengaruh pada kebijakan-kebijakan pendidikan yang berkembang saat ini. Meski begitu, kebijakan-kebijakan atas reformasi itu sendiri masih sering menjadi bahan perdebatan di kalangan para stakeholder dan pemerhati pendidikan.
Menurut catatan Christopher Bjork dan Ryoko Tsuneyoshi, berbagai penelitian yang dipublikasi selama periode dua dekade dari abad ke 20 banyak mengetengahkan isu komparatif guna mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem pendidikan di Jepang dibanding dengan negara-negara yang lain. Hasilnya secara umum hanya menggarisbawahi aspek-aspek yang unggul dari sistem pendidikan tersebut, misalnya dasar yang kuat yang ditanam pada para siswa untuk bidang studi matematika dan ilmu pasti, komitmen masyarakat yang kuat pada keunggulan akademik, keselarasan hubungan antara pengajar dan peserta didik, serta budaya pengajaran yang sarat perencanaan dan implementasi yang matang.
Seiring dengan melimpahnya kekaguman berbagai bangsa luar, termasuk Indonesia atas sistem yang dikembangkan tersebut berbagai perdebatan seputar hakikat dan tujuan sistem itu beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya mewarnai dinamika pendidikan di negara ini.
Perdebatan ini banyak terjadi antara mereka yang tamat dari sekolah-sekolah dalam negeri dan mereka yang tamat dari luar negara. Selain itu, selama bertahun-tahun sistem pendidikan di negeri sakura ini dinilai terlalu kaku dalam mengaplikasikan ujian masuk bagi para calon siswa baru serta semata-mata menekankan kemampuan ingatan terhadap fakta-fakta yang ada.
Fenomena inilah yang kemudian menggugah kementrian pendidikan, budaya, olahraga, ilmu pengetahuan serta teknologi (MEXT) untuk memelopori “Yutori Kyoiku”, suatu reformasi pendidikan guna meredam intensitas tersebut.
Namun demikian, aplikasi pada reformasi ini bukannya membuat perdebatan reda, tetapi justru menyulut berbagai percikan kritikan baru. Di satu pihak, ada yang berupaya mengembalikan sistem pendidikan Jepang pada agenda awal dengan mengembalikan fungsi kurikulum secara penuh. Di lain pihak ada yang bersikukuh mendorong Jepang makin meningkatkan standar akademik, seiring dengan pengembangan program “Super Science” untuk siswa-siswi sekolah lanjutan atas, yang notebene untuk mereka dengan kemampuan di atas rata-rata.
Kecenderungan sosial akademik ini tidak bisa dibendung dan sejumlah sekolah lokal mengembangkan kebijakan orientasi pada pasar (market-oriented policies) seperti misalnya berlomba-lomba untuk menjadi sekolah pilihan.
Berbagai perdebatan yang muncul tersebut seakan-akan mempertanyakan sistem pendidikan yang sedang berkembang di Jepang saat itu, bahkan ada beberapa dari mereka berpendapat bahwa sistem pendidikan Jepang saat itu ada dalam suatu titik genting. Di tengah-tengah tantangan untuk mengurangi beban tekanan akademis bagi para siswa, pengembangan motivasi belajar, kemampuan berpikir kritis ada sejalan dengan upaya untuk membekali para siswa pada kemampuan-kemampuan akademik dasar.
Para pendidik pun disibukkan untuk menggali berbagai pendekatan yang sekiranya tidak hanya bisa menjawab pertanyaan para stakeholder tersebut, namun juga bisa tetap berada pada jalur kurikulum yang telah mereka sepakati.
Penyusunan Kurikulum Sekolah di Jepang (1)
Bagaimanakah kurikulum di
sekolah-sekolah Jepang disusun ? Dan apa saja yang diajarkan kepada anak-anak
Jepang ? Saya menjawab pertanyaan ini dengan merangkumkan dari salah satu
chapter buku yang direkomendasikan Prof Nanbu ketika suatu kali saya ingin
mengetahui lebih banyak tentang administrasi pendidikan di Jepang.
Buku
yang direkomendasikan Nanbu sensei berjudul Educational System and
Administration in Japan, terbitan Kansai Society for Educational Administration
pada tahun 1999. Buku ini barangkali satu-satunya literatur berbahasa
Inggris yang disusun oleh pakar pendidikan Jepang yang menceritakan tentang
administrasi pendidikan di Jepang. Penerbitannya dalam edisi yang sangat
terbatas, dan hanya ada satu exempla di perpustakaan Fak. Pendidikan Nagoya
University.
Seperti
halnya di Indonesia, di Jepang pun kurikulum disusun oleh sebuah komite khusus
dibawah kontrol Kementerian Pendidikan (MEXT). Komisi Kurikulum terdiri
dari wakil dari Teacher Union, praktisi dan pakar pendidikan, wakil dari
kalangan industri, dan wakil MEXT. Komisi ini bertugas mempelajari tujuan
pendidikan Jepang yang terdapat dalam Fundamental Education Law (Kyouiku
kihonhou), lalu menyesuaikannya dengan perkembangan yang terjadi baik di dalam
maupun luar negeri. Namun, karena unsur politik sangat kental mewarnai
wakil-wakil yang duduk dalam komisi ini maka tak jarang terjadi perdebatan
panjang terutama antara wakil teacher union dan wakil kementerian dalam
penyusunan draft kurikulum.
Pembaharuan
kurikulum di Jepang berlangsung setiap 10 tahun sekali, dan kurikulum terbaru
yang diterbitkan di tahun 1998 adalah pembaharuan ketujuh sejak kurikulum yang
diterapkan pada Perang Dunia II.
Kurikulum
1998 membawa angin baru dalam dunia pendidikan Jepang. Kurikulum ini
berbeda dengan kurikulum sebelumnya berdasarkan konsep yang dibawanya yaitu
pendidikan yang berorientasi kepada pengembangan beragam personality siswa,
bukan seperti sebelumnya yaitu common education, atau pendidikan yang sama
untuk semua siswa.
Guru-guru
di Jepang sejak perang percaya bahwa pendidikan harus bersifat massal dan sama,
bahkan pendidikan yang menjurus kepada kekhasan tertentu atau menerapkan
pola/metode yang lain daripada yang lain dianggap salah. Guru-guru Jepang
senantiasa menjaga image bahwa semua siswa harus memiliki prestasi yang sama,
kedisiplinan yang sama dengan sistem pendidikan yang serupa. Namun adanya
kurikulum baru menyadarkan mereka bahwa setiap anak punya potensi yang berbeda
dengan lainnya, dan inilah yang harus dibina.
Kurikulum
yang baru bersifat fleksibel dan memungkinkan sekolah untuk meramu kurikulum
sendiri berdasarkan kondisi daerah, sekolah dan siswa yang mendaftar. Sebagai
contoh, di SMP, selain mata pelajaran wajib, siswa juga ditawarkan dengan mapel
pilihan.
Dengan
adanya kurikulum baru ini, training besar-besaran dilakukan untuk mengubah pola
pikir guru-guru Jepang. MEXT juga merevisi beberapa buku pelajaran, dan
secara hampir bersamaan mengusulkan pemberlakuan 5 hari sekolah dan adanya jam
khusus untuk pengembangan jiwa sosial siswa melalui integrated course atau
sougoteki jikan.
Kurikulum
di level sekolah disusun dengan kontrol penuh dari The Board of Education di
Tingkat Prefectur dan municipal (distrik). Karena kedua lembaga ini masih
terkait erat dengan MEXT, maka pengembangan kurikulum Jepang masih sangat
kental sifat sentralistiknya. Namun rekomendasi yang dikeluarkan oleh
Central Council for Education (chuuou shingi kyouiku kai) pada tahun 1997
memungkinkan sekolah berperan lebih banyak dalam pengembangan kurikulum di masa
mendatang.
Beberapa
hal berikut harus diperhatikan ketika sekolah menyusun kurikulumnya :
1. Mengacu kepada standar kurikulum nasional
2. Mengutamakan keharmonisan pertumbuhan jasmani dan rohani siswa
3. Menyesuaikan dengan lingkungan sekitar
4. Memperhatikan step perkembangan siswa
5. Memperhatikan karakteristik course pendidikan/jurusan pada level SMA
1. Mengacu kepada standar kurikulum nasional
2. Mengutamakan keharmonisan pertumbuhan jasmani dan rohani siswa
3. Menyesuaikan dengan lingkungan sekitar
4. Memperhatikan step perkembangan siswa
5. Memperhatikan karakteristik course pendidikan/jurusan pada level SMA
Secara
garis besar penyusunan kurikulum sekolah adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan tujuan sekolah
2. Mempelajari standar kurikulum, dan korelasinya dengan tujuan sekolah
3. menyusun course wajib dan pilihan untuk SMP dan SMA
4. Mengalokasikan hari efektif sekolah dan jam belajar.
1. Menetapkan tujuan sekolah
2. Mempelajari standar kurikulum, dan korelasinya dengan tujuan sekolah
3. menyusun course wajib dan pilihan untuk SMP dan SMA
4. Mengalokasikan hari efektif sekolah dan jam belajar.
Bercermin pada
Sistem Pendidikan di Jepang (II)
KOMPAS.com - Perkembangan dalam
sistem pendidikan Jepang modern, yang sebetulnya sudah dimulai semenjak akhir
Perang Dunia II membawa berbagai dampak dalam kehidupan masyarakatnya. Seiring
dengan pesatnya perkembangan ekonomi negara ini, memungkinkan hampir seratus
persen warganya bisa mengenyam pendidikan dasar dan tercatat 90 persen dari
orang muda Jepang berkesempatan melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang
pendidikan menengah atas.
Disinilah
fenomena ujian masuk menjadi suatu mekanisme utama guna menyalurkan para siswa
muda tersebut. Namun karena tidak semua siswa berhasil, baik itu berhasil menjadi
siswa dari sekolah yang mereka impikan atau bahkan berhasil untuk lulus ujian
masuk sekalipun, maka “Yutori Kyoiku” mulai dicetuskan terlebih guna membuat
para siswa lebih rileks menjalani proses pembelajaran yang selama ini mereka
alami.
Kemudian
kurikulum 2002 disahkan menjadi kurikulum nasional yang telah direvisi dari
kurikulum sebelumnya serta disesuaikan dengan semangat “Yutori Kyoiku”. Muatan
pada kurikulum itu sendiri dikurangi hingga 30 persen. Ini berpengaruh pada
jumlah jam tatap muka guru dan siswa, termasuk untuk bidang studi matematika
dan IPA dari 175 jam di tahun 1977 menjadi 150 jam di tahun 1998. Kebijakan ini
selanjutnya mempengaruhi juga hari efektif sekolah yang berkurang dari 6 hari
menjadi 5 hari.
“Yutori
Kyouiku” juga memberi kesempatan bagi siswa kelas 3 sekolah dasar sampai dengan
kelas 12 sekolah lanjutan untuk mengalami proses belajar di luar kelas, melalui
program yang dikenal sebagai program terpadu (sogotekina gakushu). Tujuan utama
program ini memberi kesempatan para siswa untuk belajar mandiri serta berpikir
kritis.
Nilai
hasil belajar tinggi yang mereka peroleh di kelas akan menjadi mubazir apabila
mereka tidak bisa menterjemahkannya dalam lingkungan sosial mereka sehari-hari.
Oleh sebab itu, atas kerjasama dengan pemerintah, sekolah dan dengan berbagai
perusahan serta lembaga setempat, anak-anak sekolah dalam waktu-waktu tertentu
dilibatkan dalam proses produksi suatu usaha atau layanan jasa. Melalui
keterlibatan tersebut, siswa diminta untuk melakukan observasi dan terbuka
dengan berbagai pertanyaan kritis. Hasil penelitian itu selanjutnya akan mereka
catat dan presentasikan sebagai kesimpulan dari proses belajar.
Poin
yang ingin digarisbawahi melalui program ini, bahwa proses belajar tidak hanya
terbatas dalam lingkup sekolah saja. Memang sekolah diakui sebagai tempat
pertama pengembangan aspek kognitif siswa, namun lingkungan di luar sekolah pun
sama pentingnya, terutama sebagai ajang pembelajaran dan pengembangan aspek
psikomotorik serta afektif mereka. Kesinambungan antar semua proses belajar ini
akan membawa para siswa untuk memiliki “kemampuan baru” dan hal ini oleh
kementrian pendidikan dijadikan batu pijakan reformasinya menuju suatu visi
pendidikan ke depan.
Prinsip
ini berusaha menjawab permasalahan yang dikritik sebelumnya tentang
superioritas sekolah yang terlalu besar serta kaku. Sebelumnya pendekatan
tradisional sekolah inilah yang disinyalir membuat para siswa pasif dengan
lebih menekankan kemampuan siswa untuk mengingat fakta daripada membimbing
mereka untuk berpikir serta berkreasi.
Apakah
reformasi pendidikan di negeri asal Mushashi ini bisa berlangsung dengan
lancar? Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa berbagai perdebatan sengit
muncul seiring dengan diterapkannya kebijakan baru ini. Beberapa pihak mengkritik
hasil ujian Matematika dan Ilmu Alam menurun sejak dibuatnya program yang
membuat siswa lebih rileks dalam menjalani proses pendidikannya dan ini dinilai
sebagai suatu kemunduran. Namun MEXT sendiri menanggapi bahwa fenomena hasil
itu bukanlah suatu kemunduran tapi refleksi terhadap suatu proses.
Lebih lanjut beberapa ahli yang mendukung ide pendidikan liberal, berpendapat bahwa perdebatan terhadap krisis pendidikan adalah suatu reaksi kegelisahan sementara, yang secara kebetulan disulut oleh munculnya berbagai kesulitan dan stagnasi ekonomi global saat ini. Selain itu munculnya rasa kurang percaya diri mereka pada sistem politik national dan kekawatiran terhadap moral anak muda Jepang juga menjadi tren berbagai masalah sosial belakangan ini. Oleh karena itu, sekolah sangat diharapkan mampu mengembangkan pola berpikir kritis ini, yang dalam prakteknya tidak dipisahkan dari proses belajar secara keseluruhan itu sendiri.
Lebih lanjut beberapa ahli yang mendukung ide pendidikan liberal, berpendapat bahwa perdebatan terhadap krisis pendidikan adalah suatu reaksi kegelisahan sementara, yang secara kebetulan disulut oleh munculnya berbagai kesulitan dan stagnasi ekonomi global saat ini. Selain itu munculnya rasa kurang percaya diri mereka pada sistem politik national dan kekawatiran terhadap moral anak muda Jepang juga menjadi tren berbagai masalah sosial belakangan ini. Oleh karena itu, sekolah sangat diharapkan mampu mengembangkan pola berpikir kritis ini, yang dalam prakteknya tidak dipisahkan dari proses belajar secara keseluruhan itu sendiri.
Para
pengajar dan orang tua pun mengalami dampak langsung dari aplikasi “Yutori
Kyoiku” ini. Banyak staf pengajar juga awalnya cukup kelimpungan dengan sistem
baru ini. Selain karena sistem ini seakan memutarbalikkan haluan yang selama
ini sudah mereka telusuri secara nyaman, tuntutan pengembangan pola berpikir
kritis menjadi tugas baru yang besar, di luar tugas utama mereka untuk tetap
menjadikan para siswanya mahir dalam kemampuan pendidikan dasar.
Namun
sebagian besar dari para pengajar ini mensyukuri kehadiran sistem baru ini
beserta metode terpadunya karena mereka melihat para murid menjadi lebih
termotivasi dengan apa yang ingin mereka tekuni. Lebih lanjut, para pengajar
pun punya kesempatan lebih luas untuk mendalami konsep-konsep mengajar dengan
adanya pengurangan waktu tatap muka tersebut.
Lalu
bagaimana dengan pandangan orang tua? Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan
MEXT pada tahun 2003, diketahui bahwa hanya sebagian dari orang tua yang
menyadari keberadaan sistem yang baru ini, namun kebanyakan dari mereka belum
mengenal baik spesifikasi pada reformasi sistem ini. Mungkin hanya sekitar 20
persen dari mereka yang sudah mencermati dan mengerti sampai pada tujuan
diterapkannya sistem ini. Akan tetapi bagi para orang tua yang memiliki tingkat
mobilitas tinggi, keberadaan sistem ini akan membuat mereka lebih nyaman untuk
membawa serta anak-anak ke tempat mereka bertugas, karena tuntuntan sekolah
setempat tidak lagi seketat dan sekaku sebelumnya.
Akhir
kata, sistem pendidikan Jepang modern yang dimulai setelah perang dunia II ini
memang dirancang untuk sebuah negara dengan perkembangan modernisme yang
tinggi. Selama ini sistem pendidikan di Jepang dianggap sukses dan efesien
dalam mengajarkan para siswanya dan menjadikan mereka berprestasi, namun semua
itu ternyata belum cukup. MEXT dan para ahli pendidikan jaman ini menegaskan
apabila pendidikan hanya ditekankan guna menyiapkan siswanya untuk duduk pada
ujian masuk, ditambah dengan beban sejumlah besar muatan kurikulumnya akan
menumpulkan minat belajar mereka. Untuk menjawab tantangan ini, berbagai upaya
guna penerapan pola berpikir kritis, aplikasi pengetahuan pada kehidupan nyata
serta metode “hands-on learning” menjadi tren yang baru di negeri ini.
Di
balik semua itu apa hikmah yang bisa kita ambil buat sistem pendidikan di
negara kita? Memang sistem pendidikan di negara kita mungkin tidak sekaku apa
yang terjadi di Jepang, tapi bagaimana dengan konsistensi, efisiensi dan
efektifitas dari proses itu sendiri? Ini tidak hanya menjadi pekerjaan rumah
bagi para penulis kebijakan, tapi juga semua aspek termasuk guru dan orang tua
siswa. Walau lain lubuk memang lain belalangnya, namun semoga informasi ini
bisa menggugah semua pihak yang berkecimpung atau tertarik dengan sistem
pendidikan nasional Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar